Kanal

Network

Logo sinaracehbaru.com
TERKONEKSI BERSAMA KAMI
sinaracehbaru.com Facebook
sinaracehbaru.com Twitter
sinaracehbaru.com Instagram
sinaracehbaru.com YouTube
Android Icon iOS Icon
Copyright © 2025 sinaracehbaru.com
Allright Reserved

Keadilan Ekologis: Menimbang Kembali Relasi Manusia, Alam, dan Pembangunan

Oleh
Sabtu, 20 September 2025 - 08:05 WIB

Keadilan Ekologis: Menimbang Kembali Relasi Manusia, Alam, dan Pembangunan

Oleh: Teuku Muhammad Zulfikar

=====> Dalam beberapa dekade terakhir, krisis lingkungan global, mulai dari perubahan iklim, deforestasi, pencemaran air dan udara, hingga hilangnya keanekaragaman hayati telah menjadi isu sentral dalam wacana pembangunan berkelanjutan.

Namun demikian, diskursus ini sering kali terjebak dalam pendekatan teknokratis yang menitikberatkan pada solusi teknis, seraya mengabaikan dimensi keadilan sosial dan ekologis yang melekat di dalamnya. Di sinilah pentingnya gagasan keadilan ekologis (ecological justice) sebagai kerangka berpikir kritis yang memadukan perhatian terhadap keberlanjutan lingkungan dengan pengakuan atas hak-hak komunitas manusia, terutama kelompok rentan dan makhluk hidup non-manusia.

Memahami Keadilan Ekologis

Keadilan ekologis melampaui konsep keadilan lingkungan (environmental justice) yang berfokus pada distribusi beban lingkungan secara adil antar kelompok sosial. Ia menawarkan pendekatan yang lebih holistik, yaitu dengan mengakui bahwa alam bukan sekadar sumber daya untuk dimanfaatkan manusia, tetapi juga memiliki nilai intrinsik dan hak moral untuk dilindungi.

Menurut Robyn Eckersley (1992), keadilan ekologis menuntut reformulasi hubungan manusia dengan alam—dari yang bersifat antroposentris menjadi ekosentris. Artinya, bukan hanya manusia yang menjadi subjek keadilan, melainkan juga spesies lain dan ekosistem secara keseluruhan. Pandangan ini mengajak kita untuk mempertimbangkan keadilan lintas spesies, lintas generasi, dan lintas geografis dalam kebijakan lingkungan.

Ketimpangan Ekologis sebagai Ketimpangan Sosial

Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, pembangunan ekonomi yang eksploitatif terhadap sumber daya alam sering kali dilakukan atas nama “kepentingan nasional” atau “investasi strategis.” Namun dalam praktiknya, kebijakan-kebijakan ini kerap meminggirkan hak-hak masyarakat adat, petani kecil, nelayan tradisional, dan komunitas lokal lainnya yang hidup selaras dengan alam. Ironisnya, mereka yang paling sedikit berkontribusi terhadap kerusakan ekologis justru menjadi kelompok yang paling terdampak.

Misalnya, proyek tambang, perkebunan sawit, dan pembangunan infrastruktur besar kerap menyebabkan perampasan lahan, pencemaran lingkungan, hingga konflik sosial. Hal ini menunjukkan adanya ketidakadilan ekologis struktural, yakni ketimpangan dalam hal siapa yang menikmati manfaat ekonomi dari eksploitasi alam dan siapa yang menanggung biayanya, baik dalam bentuk kerusakan lingkungan maupun penderitaan sosial.

Secara hukum, konsep keadilan ekologis masih belum sepenuhnya diakomodasi dalam sistem hukum positif Indonesia. Meski terdapat instrumen hukum seperti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, implementasinya seringkali lemah, terutama dalam melindungi hak-hak masyarakat adat dan ekologis.

Lebih jauh, Mahkamah Konstitusi pernah menegaskan dalam beberapa putusan bahwa pengakuan atas hak masyarakat adat dan lingkungan hidup yang sehat merupakan bagian dari hak konstitusional warga negara. Namun, pengakuan normatif ini belum selalu berbanding lurus dengan realitas kebijakan dan praktik di lapangan. Dalam konteks ini, dorongan untuk mengarusutamakan keadilan ekologis dalam perumusan dan evaluasi kebijakan publik menjadi sangat penting.

Keadilan Ekologis dan Tanggung Jawab Global

Keadilan ekologis juga berkaitan erat dengan isu global, seperti perubahan iklim. Negara-negara di belahan bumi selatan yang paling rentan terhadap dampak krisis iklim, umumnya merupakan pihak yang paling sedikit menyumbang emisi gas rumah kaca. Sebaliknya, negara-negara maju yang telah lama mengindustrialisasi dirinya justru menanggung tanggung jawab historis terbesar atas krisis ini.

Prinsip “common but differentiated responsibilities” (CBDR) dalam hukum lingkungan internasional merupakan upaya untuk menghadirkan keadilan ekologis di tingkat global, namun dalam pelaksanaannya sering terhambat oleh kepentingan geopolitik dan ekonomi.

Mewujudkan keadilan ekologis bukan hanya soal melindungi lingkungan, tetapi juga soal mendesain ulang model pembangunan dan tata kelola sumber daya alam agar lebih adil, demokratis, dan berkelanjutan. Ini menuntut partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan, pengakuan terhadap hak-hak ekologis komunitas lokal, dan perubahan paradigma dari eksploitasi menuju koeksistensi.

Di tengah krisis iklim global dan ketimpangan sosial yang terus melebar, keadilan ekologis harus dijadikan pijakan etis dan politik dalam setiap proses pembangunan. Hanya dengan cara itulah kita bisa memastikan bahwa bumi ini tetap menjadi rumah yang layak huni, bukan hanya untuk generasi kita, tetapi juga untuk generasi mendatang dan semua makhluk hidup yang berbagi ruang dengan kita.

Penulis:

Dr. Ir. Teuku Muhammad Zulfikar, S.T., M.P., IPU. (Akademisi & Praktisi Lingkungan di Aceh)*

BERITA LAINNYA

Kasus ASN Ngaku Wartawan, Bupati Aceh Selatan Akan Tindak Tegas Sesuai Aturan

H. Mirwan, MS.SE.M.Sos. Tapaktuan – Desakan Forum Jurnalis Independen Aceh Selatan (FORJIAS) agar pemerintah menertibkan oknum Aparatur Sipil Negara (ASN)

| 1 hari lalu

Pamapta Polres Aceh Selatan Pimpin Patroli KRYD Antisipasi Gangguan Kamtibmas di Malam Hari

  Tapaktuan – Dalam rangka menjaga situasi keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) agar tetap aman dan kondusif, personel piket Polres

| 1 hari lalu

Tebing Krueng Mersak Terus Terkikis, Warga Kluet Tengah di Bawah Bayang-bayang Ancaman

Aceh Selatan – Meski banjir yang sempat melanda kawasan Kluet Raya, termasuk Kecamatan Kluet Tengah, telah surut total, namun ancaman

| 2 hari lalu

Ketua FORJIAS Minta Bupati Aceh Selatan Tertibkan ASN yang Mengaku Wartawan

Sadar S, Ketua FORJIAS Aceh Selatan:  Ketua Forum Jurnalis Independen Aceh Selatan (FORJIAS), Safdar. S, meminta Bupati Aceh Selatan menertibkan

| 2 hari lalu

Ketua FORJIAS: Profesionalisme Wartawan Tak Hanya Soal UKW, Tapi Soal Integritas dan Tanggung Jawab

Ketua FORJIAS, Safdar. S Aceh Selatan– Ketua Forum Jurnalis Independen Aceh Selatan (FORJIAS), Safdar. S, menegaskan bahwa profesionalisme wartawan dalam

| 2 hari lalu

Etika yang Hilang: Saat Jadi Hakim bagi Sesamanya, Jangan Biarkan Marwah Jurnalistik Tercoreng Sesama Wartawan

Etika yang Hilang: Saat Jadi Hakim bagi Sesamanya, Jangan biarkan marwah jurnalistik tercoreng oleh sesama wartawan Aceh Selatan/-Eradigitalisasi, kini sangat

| 2 hari lalu

Polres Aceh Selatan Bersinergi dengan TNI dan BPBD, Evakuasi Warga Terdampak Banjir di Kluet Tengah

  Tapaktuan – Hujan deras dengan intensitas tinggi yang mengguyur wilayah Kabupaten Aceh Selatan sejak Minggu malam menyebabkan Sungai Kluet

| 3 hari lalu

Bupati Asel via Sekda Instruksikan Siaga Bencana

Diva Samudra Putra TAPAKTUAN, – Bupati Aceh Selatan, H. Mirwan MS, S.E, M. Sos melalui Pejabat Pelaksana tugas (Plt) Sekretaris

| 3 hari lalu

Memperingati Hari Pahlawan, Pemkab Aceh Selatan Gelar Upacara Ziarah di Makam Cut Ali dan Rajo Lelo

‎ ‎Aceh Selatan – Dalam rangka memperingati Hari Pahlawan Nasional Tahun 2025, Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan menggelar upacara ziarah dan

| 3 hari lalu
Logo sinaracehbaru.com
TERKONEKSI BERSAMA KAMI
sinaracehbaru.com Facebook
sinaracehbaru.com Twitter
sinaracehbaru.com Instagram
sinaracehbaru.com YouTube
Android Icon iOS Icon
Copyright © 2025 sinaracehbaru.com
Allright Reserved
CONTACT US PT. Sinar Aceh Baru,
Jl. Kasturi No. 7B Gp. Keuramat Kuta Alam Banda Aceh, 23123
Telp: 08126962239