Pentingnya Mengembangkan Kembali Kelapa di Aceh
Oleh: Teuku Muhammad Zulfikar, Sekjen Yayasan Beudoh Gampong (YBG)
====> Pernah suatu masa, Aceh dikenal sebagai salah satu lumbung kelapa di Nusantara. Di sepanjang pesisir timur dan barat, dari Aceh Singkil hingga Aceh Utara, hamparan pohon kelapa tumbuh subur, menyatu dengan identitas agraris masyarakat. Kelapa bukan sekadar komoditas—ia adalah bagian dari kebudayaan, ekonomi rakyat, dan ketahanan pangan lokal.
Namun, kini pohon-pohon itu semakin sunyi. Banyak kebun kelapa tua tak diremajakan, lahan kelapa beralih fungsi, dan petani kehilangan minat karena harga kopra yang tak menentu. Ironisnya, ketika dunia mulai kembali melirik kelapa sebagai sumber pangan sehat dan bahan industri, Aceh justru tertinggal.
*Kelapa: Komoditas Rakyat yang Terlupakan*
Data BPS Aceh menunjukkan penurunan produksi kelapa dalam satu dekade terakhir. Padahal, kelapa adalah tanaman serba guna: dari akar hingga daun bisa dimanfaatkan. Minyak kelapa murni, sabut kelapa, arang tempurung, hingga air kelapa kini menjadi komoditas ekspor bernilai tinggi. Sayangnya, kurangnya hilirisasi industri dan lemahnya dukungan kebijakan membuat potensi ini belum tergarap maksimal.
Produksi Kelapa Aceh (2010 vs 2023):
2010: 180.000 ton
2023: 127.000 ton
Sumber: BPS Aceh, 2024
*Mengapa Harus Dikembangkan Kembali?*
Pertama, karena kelapa tumbuh baik di iklim dan tanah Aceh. Kedua, kelapa tidak memerlukan perawatan rumit dan cocok dikembangkan oleh petani kecil. Ketiga, pengembangan kelapa bisa mendorong ekonomi sirkular berbasis desa: koperasi petani, industri kecil olahan kelapa, hingga pariwisata agro bisa tumbuh bersama.
Keempat, dari sisi lingkungan, kelapa memiliki peran konservatif. Akar kelapa mencegah erosi pantai dan abrasi sungai. Ini relevan bagi kawasan pesisir Aceh yang makin rentan akibat perubahan iklim.
*Apa yang Harus Dilakukan?*
Aceh membutuhkan kebijakan revitalisasi kelapa. Mulai dari penyediaan bibit unggul, pelatihan bagi petani muda, hingga dukungan modal bagi industri olahan. Perlu juga integrasi program kelapa dengan agenda ketahanan pangan dan adaptasi perubahan iklim.
Kampus, pesantren, dan sekolah-sekolah bisa dilibatkan dalam edukasi pemanfaatan kelapa. Bayangkan jika setiap sekolah punya satu unit pengolahan minyak kelapa murni—maka kita menanamkan nilai kewirausahaan sekaligus kecintaan pada hasil bumi sendiri.
*Menatap Akar untuk Maju*
Kelapa mungkin tak sepopuler sawit, tak seglamor tambang, atau tak seheboh wacana investasi asing. Tapi justru dari komoditas seperti kelapa, rakyat bisa berdiri di atas kaki sendiri. Mengembangkan kembali kelapa bukan sekadar soal ekonomi, tetapi juga soal jati diri Aceh sebagai tanah agraris-maritim yang berdaulat.
Sudah saatnya Aceh menatap kembali akarnya, dan kelapa adalah salah satunya. (*)