Meneguhkan Aceh sebagai Episentrum Riset Keberlanjutan Lingkungan dan Satwa Liar
Oleh: Dr. Ir. TM Zulfikar, S.T., M.P., IPU.*
====> Aceh sekali lagi menjadi panggung penting bagi dunia akademik dan lingkungan. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala (USK) baru saja melaksanakan Konferensi Internasional tentang Riset Keberlanjutan Lingkungan dan Satwa Liar (International Conference on Sustainable Environmental and Animal Research/ICSEAR), sebuah langkah berani dan visioner di tengah ancaman nyata terhadap keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekosistem. Di tengah hiruk-pikuk isu politik dan pembangunan yang kerap menyingkirkan alam ke pinggir wacana, kegiatan ini seperti oase yang menyegarkan nalar dan nurani.
Konferensi ini bukan sekadar ajang akademik rutin. Ia adalah bentuk tanggung jawab moral dan intelektual perguruan tinggi terhadap masa depan bumi. Di ruang-ruang diskusi itulah, para peneliti, akademisi, dan praktisi bertemu untuk menelisik persoalan besar: bagaimana menjaga keberlanjutan ekosistem di tengah desakan pembangunan, eksploitasi sumber daya, dan perubahan iklim yang makin ekstrem.
Fakultas Kedokteran Hewan USK layak diapresiasi. Mereka menempatkan riset satwa liar bukan hanya sebagai kajian biologi atau kesehatan hewan semata, tetapi juga sebagai pintu masuk untuk memahami relasi manusia dengan alam secara lebih utuh. Satwa liar adalah indikator kesehatan lingkungan, jika mereka punah atau terganggu, maka sesungguhnya manusia pun sedang kehilangan keseimbangan hidupnya.
Lebih dari itu, Aceh memiliki modal besar yang menjadikannya relevan dan strategis dalam riset keberlanjutan. Dari hutan Aceh (baik kawasan ekosistem Leuser maupun Ulu Masen) yang menjadi rumah bagi spesies endemik dunia, hingga garis pantai yang panjang dengan kekayaan laut yang luar biasa, semuanya adalah laboratorium alam terbuka yang tak ternilai. Namun, semua itu juga sedang berada di tepi jurang akibat deforestasi, perburuan, dan kebijakan yang sering kali abai terhadap daya dukung lingkungan.
Konferensi ini menjadi pengingat bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh diam di menara gading. Hasil riset harus turun ke kebijakan, ke masyarakat, dan menjadi bahan pertimbangan dalam setiap keputusan pembangunan. Universitas tidak boleh hanya menjadi saksi, tetapi harus menjadi aktor yang berani bersuara dan memberi arah bagi masa depan lingkungan kita.
Namun, pekerjaan belum selesai. Tantangan berikutnya adalah bagaimana memastikan konferensi ini tidak berhenti di ruang seminar. Butuh keberlanjutan: jejaring riset yang solid, kolaborasi lintas negara, serta sinergi antara akademisi, pemerintah, dan masyarakat. Tanpa itu, semua gagasan hanya akan menguap sebagai slogan akademik yang manis di telinga tapi hampa di lapangan.
Aceh harus menjadi contoh, bahwa menjaga satwa liar dan lingkungan bukanlah hambatan pembangunan, melainkan fondasi keberlanjutan masa depan. Dan Fakultas Kedokteran Hewan USK telah menunjukkan, bahwa ilmu pengetahuan yang berpihak pada alam bukan sekadar tuntutan moral, tetapi kebutuhan zaman.
Karena pada akhirnya, masa depan bumi bergantung pada satu hal: seberapa serius kita mendengar suara alam, sebelum ia benar-benar diam. (*)
*)Penulis adalah Akademisi dan Praktisi Lingkungan di Aceh