Banda Aceh ,16/12/2025 Imam Nugroho Mengecam keras Pelayanan Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin (RSUZA) sehingga salah satu pasien diduga meninggal dunia setelah menerima penolakan dari IGD. Dalam dunia kedokteran, menangani pasien darurat adalah salah satu tanggung jawab utama yang harus diemban oleh setiap tenaga medis dan tenaga kesehatan.
Pasien yang Bernama Ibu Suarnisah datang dalam kondisi tidak sadarkan diri dilaporkan ditolak oleh pihak IGD RSUZA pada Selasa pagi sekitar pukul 07.15 WIB dengan alasan ketiadaan tempat tidur (bed).
menurut keterangan keluarga, pasien sama sekali tidak diperiksa maupun dilihat secara langsung oleh petugas medis yang berjaga saat itu, Pasien yang mengalami gangguan pernapasan serius tersebut tidak mendapatkan penanganan medis di IGD RSUZA.
Imam Nugroho, Ketua Jaringan Peduli Aceh ( JPA Aceh ) mendapat kabar dari Keluarga Pasien Pak Zainal yang juga seorang pegiat kebencanaan Aceh yang turut mendampingi keluarga pasien.
“Jangankan di periksa, melihat kondisi pasien saja mereka tidak melakukan nya yang sudah sulit bernapas. Padahal ini kondisi darurat,” .tegas Imam Nugroho
Sebab ditolak, pasien terpaksa bawa lari ke RSU Meuraxa yang jaraknya lebih jauh dari RSUZA. Namun susah bernafas, pasien meninggal dunia dalam perjalanan menuju rumah sakit tersebut.

Apa fungsi RSUZA sebagai rumah sakit rujukan utama dan berstatus paripurna jika dalam kondisi gawat darurat tidak mampu menyediakan bed bagi pasien kritis. Ucap Imam Nugroho
“Untuk apa status paripurna dan disebut rumah sakit rujukan jika hanya alasan bed penuh dijadikan dasar penolakan? Atau memang bed disiapkan khusus untuk pejabat saja?” tegasnya.
Imam Nugroho menambahkan tindakan dokter atau tenaga medis yang berjaga pada saat kejadian perlu diuji apakah sesuai dengan regulasi dan kode etik profesi.
Dalam dunia kedokteran, menangani pasien darurat adalah salah satu tanggung jawab utama yang harus diemban oleh setiap tenaga medis dan tenaga kesehatan. Hal ini bukan hanya menjadi bagian dari kode etik profesi, tetapi juga merupakan kewajiban hukum yang diatur secara tegas dalam undang-undang. Penolakan pasien gawat darurat oleh tenaga medis atau tenaga kesehatan bukan hanya masalah etika dalam pelayanan kesehatan, melainkan memiliki implikasi hukum yang serius.
Ia juga mengungkapkan kekecewaannya dengan mengingat kejadian serupa sebulan sebelumnya, di mana bed yang sudah berada dalam antrean pasien umum tiba-tiba dialihkan untuk seorang pejabat yang sedang kritis.
“Kalau memang begitu, jangan jadi rumah sakit umum. Jadilah rumah sakit pejabat saja,” tambahnya dengan nada kecewa.
Peristiwa ini menambah daftar panjang keluhan masyarakat terhadap pelayanan IGD RSUZA, khususnya terkait penanganan pasien dalam kondisi gawat darurat ini memicu perhatian publik dan menimbulkan pertanyaan serius mengenai akses dan standar pelayanan di rumah sakit daerah. Dan akan terus mengawal hingga proses evaluasi tuntas dan tidak menutup kemungkinan memberi rekomendasi jika ditemukan pelanggaran pelayanan publik. Untuk manajemen RSUZA serta pihak berwenang agar kejadian serupa tidak kembali terulang dan hak masyarakat atas pelayanan kesehatan yang layak dapat terpenuhi. Tutup Imam Nugroho




