Ada Walid di Kampung Saya
Oleh: T. M. Zulfikar )*
====> Di kampung saya, ada Walid. Sosok luar biasa. Seorang visioner. Aktivis lingkungan—versi dia sendiri. Ia percaya bahwa bumi harus diselamatkan, terutama bagian yang berada persis di sekitar rumahnya.
Ketika hutan di ujung kampung digunduli habis, Walid bersabda, “Itu bukan penebangan, itu pembersihan energi negatif.” Katanya, pohon-pohon itu terlalu tua dan sudah tidak produktif. Maka biarlah berganti dengan perumahan subsidi yang segar dan menjanjikan.
Walid sangat peduli pada sungai. Ia bahkan sering mengadakan rapat darurat ketika air sungai berubah keruh. Tapi bukan untuk mencari solusi. Rapat itu hanya untuk menunjuk siapa yang layak disalahkan. Biasanya si pemuda yang iseng cuci motor di hulu. Padahal backhoe yang meratakan tebing sungai di belakang rumah Walid? “Itu bukan merusak, itu revitalisasi!”
Dia pernah bikin program tanam sejuta pohon. Hebat, kan? Sayangnya, dari sejuta itu, cuma tujuh yang ditanam. Sisanya dijadikan spanduk acara. Dan ketujuh pohon itu ditanam di sekitar balai kampung, supaya bisa difoto dari banyak sudut. Karena dalam dunia Walid, lingkungan yang baik adalah lingkungan yang fotogenik.
Ketika banjir datang akibat drainase buntu dan tanah resapan berubah jadi lahan parkir—Walid tampil di depan kamera. “Ini ujian dari alam. Kita harus introspeksi.” Lalu dia menyuruh warga gotong-royong bersihkan parit, sementara ia duduk memberi motivasi spiritual dari atas kursi plastik oranye.
Walid tak suka dikritik. Pernah ada mahasiswa pulang dari kota, bawa konsep eco-village ke kampung. Walid langsung geleng-geleng. “Itu terlalu kota. Di sini kita pakai kearifan lokal,” katanya, sambil menyetujui pembangunan resort di pinggir bukit. “Untuk kesejahteraan!” tambahnya—dengan penuh wibawa dan aroma kopi sachet.
Tapi ya begitulah. Di kampung saya, Walid adalah segalanya. Ketika bumi menangis, Walid tertawa. Katanya, “Lingkungan itu penting, tapi lebih penting lagi narasi kepedulian kita tentang lingkungan.” Kalimat itu kini diabadikan di baliho depan kantor desa, berdampingan dengan foto Walid sedang menanam pohon mangga pakai jas hujan dan sepatu kulit.
Maka selamat datang di kampung saya. Di mana hutan bisa ditebang asal ada niat baik. Di mana sungai boleh dialihkan asal ada plang proyek. Dan di mana Walid selalu benar, bahkan saat bumi berkata lain.
)* Pemerhati Lingkungan Aceh/Kandidat Doktor DPIPS SPs USK