Pendidikan Berkarakter di Aceh: Membangun Generasi dengan Akar dan Darah
Oleh: TM Zulfikar, Dosen Universitas Serambi Mekkah
=====> Di tengah pusaran globalisasi dan gempuran budaya instan, pendidikan tidak bisa lagi hanya bertumpu pada kecakapan akademik semata. Aceh, sebagai wilayah yang kaya akan nilai-nilai keislaman, adat, dan sejarah perjuangan, justru memiliki modal kuat untuk membangun pendidikan berkarakter yang utuh—berakar pada kearifan lokal dan mengarah pada masa depan yang berintegritas.
Pendidikan berkarakter sejatinya bukan barang baru di Aceh. Sejak masa ulama-ulama besar seperti Hamzah Fansuri dan Syiah Kuala, nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial telah menyatu dalam proses belajar. Namun kini, arus pragmatisme telah menggerus kepekaan siswa terhadap nilai. Anak-anak diajarkan menghafal rumus, tetapi lupa cara menghargai sesama. Mereka pandai meraih nilai ujian, namun rapuh menghadapi tantangan hidup.
Inilah tantangan kita: bagaimana mengembalikan ruh pendidikan sebagai sarana pembentukan manusia seutuhnya, bukan sekadar pencetak tenaga kerja. Aceh harus menjadi contoh pendidikan yang menyeimbangkan antara ilmu, iman, dan akhlak. Peran sekolah, keluarga, dan lingkungan mesti dipadukan untuk menciptakan atmosfer pembelajaran yang menghidupkan nilai, bukan sekadar angka.
Upaya integrasi pendidikan karakter harus lebih dari sekadar pelatihan sesaat atau slogan di dinding sekolah. Ia harus hidup dalam kurikulum, praktik guru, dan kebijakan pemerintah daerah. Penguatan kembali fungsi dayah, revitalisasi pendidikan adat, hingga pelibatan tokoh masyarakat dalam pendidikan formal adalah langkah konkret yang layak diperjuangkan.
Jika pendidikan hanya menghasilkan manusia cerdas tetapi tanpa karakter, maka Aceh akan kehilangan arah. Namun jika kita mampu mendidik generasi yang berani jujur, peduli pada lingkungan, dan bangga pada budayanya—maka masa depan Aceh bukan hanya cerah, tapi juga bermartabat. (*)