Banjir Aceh: Ketika Alam Murka, Inilah Fakta yang Harus Diterima
Oleh: Dr. Ir. TM Zulfikar, Akademisi & Praktisi Lingkungan Aceh
====> Banjir yang kembali melanda Aceh bukan sekadar peristiwa alam biasa; ia adalah cermin yang memantulkan kesalahan kita sendiri. Ketika hujan turun tak kunjung berhenti, ketika sungai meluap dan ribuan warga harus mengungsi, mudah bagi kita mengatakan bahwa ini “musibah”. Namun jauh di balik air yang menggenang, ada fakta yang harus diterima dengan jujur: alam tidak pernah murka tanpa alasan.
Kerusakan hutan yang berlangsung bertahun-tahun, pembukaan lahan tanpa kendali, pembangunan yang mengabaikan daya tampung lingkungan, semuanya berkontribusi. Alam yang selama ini menjadi penopang kehidupan dipaksa bekerja melampaui batasnya. Dan ketika ia tak lagi sanggup, banjir hanya menjadi salah satu bentuk balasannya.
Yang ironis, siklus ini terus berulang. Setiap banjir datang, perhatian kita memuncak: berita ramai, bantuan mengalir, pejabat turun tangan. Namun setelah air surut, kesadaran pun ikut surut. Kita kembali pada pola lama, seolah tak ada pelajaran yang sempat dipetik.
Banjir di Aceh seharusnya menjadi momentum untuk berhenti sejenak, merenungkan apa yang salah dan apa yang bisa diperbaiki. Ini bukan hanya soal memperbaiki tanggul atau meningkatkan kapasitas drainase. Lebih dari itu, ini tentang keberanian untuk mengakui bahwa manusia adalah bagian dari masalah, sekaligus harus menjadi bagian dari solusi.
Ketika alam murka, ia tidak sedang menghukum. Ia sedang memberi peringatan. Dan peringatan ini, bila terus diabaikan, akan berubah menjadi ancaman yang jauh lebih besar. Kita mungkin tidak bisa menghentikan hujan, tetapi kita bisa mengubah cara memperlakukan bumi tempat kita berpijak.
Pada akhirnya, fakta yang harus diterima adalah ini: selama perilaku manusia tidak berubah, banjir bukan sekedar bencana alam, melainkan konsekuensi dari pilihan kita sendiri. (*)




