Aceh di Bawah Bayang Krisis Iklim:
Dari Retorika ke Aksi Nyata
Oleh: Dr. Ir. TM Zulfikar, S.T., M.P., IPU. (Praktisi & Akademisi Lingkungan Aceh)
====> Aceh hari ini tidak hanya menghadapi krisis lingkungan, tapi juga krisis arah dalam merespons perubahan iklim. Banjir bandang di pedalaman, rob di pesisir, longsor di lereng bukit, hingga kemarau panjang yang membakar lahan gambut, semua ini bukan sekadar “bencana alam” yang datang tiba-tiba, tetapi hasil dari pola pengelolaan ruang dan sumber daya yang selama ini mengabaikan keseimbangan ekosistem.
Selama ini, pembahasan krisis iklim di Aceh sering berakhir pada seminar ber-AC, dokumen rencana aksi yang rapi di rak kantor, dan foto-foto penanaman pohon untuk laporan tahunan. Padahal, yang dibutuhkan jauh lebih dari itu: tindakan cepat, terukur, dan berkelanjutan.
Ada tiga langkah kunci yang seharusnya menjadi prioritas: Pertama, memulihkan Hutan dan Lahan Gambut. Kawasan hutan Aceh, terutama di Leuser dan Ulu Masen, adalah benteng alami melawan krisis iklim. Kerusakannya berarti hilangnya penahan banjir, penyangga air bersih, dan penyerap karbon. Restorasi harus dipimpin oleh pemerintah setempat dengan dukungan penuh masyarakat adat dan ilmuwan, bukan hanya oleh proyek jangka pendek.
Kedua, membangun Sistem Peringatan Dini yang Efektif. Bencana iklim semakin sulit diprediksi. Masyarakat di hilir sungai dan pesisir perlu mendapatkan informasi cepat dan akurat tentang potensi banjir, badai, atau gelombang tinggi. Teknologi sederhana seperti SMS blast, sirine desa, hingga radio komunitas bisa menyelamatkan nyawa jika benar-benar dijalankan.
Ketiga, mengintegrasikan Adaptasi Iklim dalam Pembangunan. Setiap proyek pembangunan, mulai dari jalan, irigasi, hingga perumahan, wajib mempertimbangkan risiko iklim. Tidak ada gunanya membangun bendungan jika daerah tangkapannya gundul, atau membangun rumah bantuan di lokasi yang akan tenggelam dalam 10 tahun.
Aceh tidak kekurangan sumber daya alam, pengetahuan lokal, dan dukungan global. Yang sering hilang adalah kemauan politik yang konsisten. Krisis iklim bukan ancaman masa depan-ia sudah hadir di halaman rumah kita.
Kalau kita masih menunggu “waktu yang tepat” untuk bertindak, jangan heran kalau waktu itu hanya akan datang dalam bentuk sirine darurat, bukan dalam bentuk keberlanjutan.
Editor: Deni Irawan