TM Zulfikar Bicara Pancasila: Antara Teks, Nilai, dan Kenyataan
Oleh TM Zulfikar
(Pemerhati Lingkungan & Sosial Aceh)
Setiap tahun, tepat pada 1 Juni, bangsa ini kembali mengumandangkan Pancasila. Di podium, dalam upacara, di media sosial–Pancasila dibacakan dan diperingati. Kita menyebutnya dasar negara, ideologi pemersatu, bahkan jiwa bangsa. Tapi setiap kali saya mendengarnya, satu pertanyaan muncul: jiwa bangsa siapa?
Pertanyaan ini lahir dari keprihatinan. Saya melihat, di balik gegap gempita peringatan Hari Lahir Pancasila, praktik kehidupan berbangsa justru berjalan menjauh dari nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Pancasila dipuja dalam teks, tetapi sering dikhianati dalam kebijakan.
Ketuhanan Yang Maha Esa, misalnya, kerap digunakan sebagai simbol, namun tidak menjadi fondasi moral dalam pengambilan keputusan. Pembangunan yang merusak ekosistem, yang mengabaikan nilai sakral tanah dan air bagi masyarakat adat, berjalan tanpa pertimbangan spiritualitas yang sejati. Tuhan dijunjung tinggi, tetapi ciptaan-Nya diperlakukan semena-mena.
Kemanusiaan yang adil dan beradab menghadapi tantangan yang kian nyata. Petani di Aceh harus berhadapan dengan konsesi tambang. Masyarakat pesisir kehilangan ruang hidup akibat abrasi yang dipicu proyek reklamasi. Mereka yang terdampak jarang dilibatkan, apalagi dilindungi. Keadaban kita diuji, dan sering kali gagal.
Persatuan Indonesia sering dipahami secara seragam, padahal Indonesia justru lahir dari keberagaman. Ketika ekspresi kultural lokal dipinggirkan, ketika suara berbeda dianggap ancaman, kita tidak sedang memperkuat persatuan, melainkan memaksakan keseragaman yang rapuh.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan tampak ideal. Namun di ruang-ruang pengambilan keputusan, logika kuasa dan keuntungan kerap mengalahkan hikmat. Permusyawaratan sering menjadi formalitas belaka, sementara keputusan sudah dikunci oleh angka dan kepentingan.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia barangkali menjadi sila yang paling banyak dikutip–namun paling jarang diwujudkan. Kesenjangan terus melebar, akses terhadap sumber daya tidak merata, dan suara masyarakat kecil tenggelam di tengah dominasi suara pasar dan elit politik.
Pancasila bukan sekadar dokumen historis. Ia adalah kompas etik yang seharusnya memandu arah bangsa. Namun hari ini, saya melihat Pancasila lebih sering dijadikan ornamen–disucikan secara simbolik, tetapi diabaikan secara struktural.
Peringatan Hari Lahir Pancasila mestinya menjadi momen evaluasi, bukan seremoni. Apakah negara ini masih berjalan searah dengan nilai-nilainya? Apakah rakyat merasakan kehadiran Pancasila dalam kebijakan dan perlakuan negara?
Sebagai bangsa, kita tidak kekurangan slogan. Yang kita butuhkan adalah keberanian untuk membuat nilai-nilai itu hadir dalam kenyataan. Bukan sekadar membacanya di upacara, tetapi menghidupkannya dalam tindakan– dalam kebijakan, dalam perlindungan lingkungan, dalam keberpihakan kepada yang lemah.
Pancasila tidak butuh didewakan. Ia hanya butuh dijalankan. (*)